Perjalanan Berliku Seorang Jaksa - MY BLOG

Breaking

BANNER 728X90
jangan mencitai orang yang tidak mencintai Allah. jika mereka bisa meninggalkan Allah,maka mereka juga akan meninggalkanmu.

Minggu, 24 Maret 2019

Perjalanan Berliku Seorang Jaksa

Perjalanan berliku seorang jaksa 



Jaksa, berdasarkan Pasal 1 Undang-undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang bertindak sebagai penuntut umum, pelaksana putusan Pengadilan, atau kewenangan lainnya yang diamanatkan undang-undang. Dan jabatan fungsional Jaksa ini adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi Kejaksaan. Sehingga, yang karena fungsinya itu, memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas Kejaksaan.

Namun, pada kenyataannya, Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung (Kejagung) Marwan Effendy beberapa waktu lalu masih menemui Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dan Kepala Subsie (Kasi) di sejumlah Kejaksaan Negeri (Kejari) yang tidak memiliki kemampuan manajerial dan teknis. Sehingga, Marwan merekomendasikan mereka untuk dicopot dan kembali mendapat pembinaan.

Selain tidak memiliki kemampuan manajerial dan teknis, ada pula jaksa yang ditemukan melakukan tindak pidana seperti korupsi, pemerasan, dan penyalahgunaan narkoba. Salah satunya adalah mantan mantan mantan Kajari Merauke, Papua, Edi Soetiyono.

Bersama Edi, mantan Kasi Tindak Pidana Khusus Kejari Merauke, Soeparno, juga diduga terlibat dalam perkara korupsi yang dilakukan Edi.

Edi bukan satu-satunya Kajari yang kasus korupsinya diusut oleh Kejagung. Karena, Kejagung juga pernah mengusut perkara korupsi yang dilakukan oleh Kejari Nabire.
Atas penyimpangan-penyimpangan tersebut, hasil laporan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), sejak Januari 2007 sampai Juni 2010, telah merekomendasikan sebanyak 869 pegawai dan jaksa yang telah dijatuhi sanksi. Sanksi yang dijatuhkan bentuknya bermacam-macam, mulai dari sanksi ringan, sedang, dan berat. Berikut data yang dikutip hukumonline dari Kejaksaan Agung :
Tahun
2007
2008
2009
2010
Pegawai
38
72
89
62
Jaksa
89
173
181
165
Jumlah (sanksi)
127
245
270
227

Banyak dan cenderung meningkatnya jumlah jaksa ‘nakal’ tentunya mengundang pertanyaan bagaimana proses rekrutmen dan pembinaan seorang jaksa. Apakah dilakukan secara serampangan atau sebaliknya?

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung Babul Khoir Harahap menegaskan bahwa proses rekrutmen menjadi seorang jaksa itu tidak mudah dan panjang. Ia menyatakan syarat-syaratnya telah diatur dalam UU Kejaksaan dan Peraturan Jaksa Agung (Perja).

“Pertama, yang jelas adalah Warga Negara Indonesia, IPK-nya 3, kemudian memiliki kemampuan bahasa Inggris, dan komputer. Selain itu, tidak terlibat kejahatan, ada surat kelakuan baiknya, dan surat keterangan dokter bahwa dia sehat dan tidak ada narkoba,” ujarnya.

Kemudian, setelah memenuhi syarat-syarat tersebut, akan ada tes oleh tim independen. Lalu, ada juga psikotes. “Umurnya juga tidak boleh lebih dari 32 tahun, dan postur badannya ideal. Tidak boleh gemuk, kurus, dan tingginya ideal,” kata Babul.

Mereka yang telah lulus seleksi tak bisa langsung mencicipi seratus persen gaji sebagai calon pegawai negeri sipil kejaksaan. Mereka harus rela dibayar 80 persen. “Mereka harus melewati masa prajabatan selama satu tahun. Baru kemudian, setelah satu tahun, ada pendidikannya selama satu bulan. Prajabatan ini untuk menyesuaikan, apakah itu di Pidum (Pidana Umum), Pidsus (Pidana Khusus), intel, dan sebagainya,” katanya. Setelah masa prajabatan satu tahun terlewati, mereka baru diajukan untuk menjadi pegawai negeri dan menerima gajinya secara utuh.

Tapi setelah menjadi pegawai negeri, tak otomatis menyandang profesi Jaksa. Babul menjelaskan, mereka harus menjalani masa kerja selama dua tahun. Setelah masa kerja itu, mereka baru dapat mengikuti tes untuk menjadi seorang Jaksa. “Yang mengetes tetap independen. Mereka di tes tertulis dan wawancara langsung dengan Jaksa Agung Muda. Nanti, kalau sudah lulus, baru masuk pendidikan Jaksa selama 6 enam bulan.”

Setelah menjalani pendidikan selama 6 bulan, mereka akan dilantik menjadi Jaksa untuk dikirim ke daerah-daerah. “Itu tergantung. Ada yang ditugaskan ke daerah selama tiga tahun, empat tahun, dan sebagainya,” tuturnya.

Penugasan ke daerah-daerah ini, tidak lantas menyelesaikan proses rekrutmen seorang Jaksa. Babul menyatakan, mereka akan dipanggil lagi untuk menjalani pendidikan khusus, seperti korupsi, narkoba, dan lain-lain, untuk menambah ilmunya. Setelah itu baru terlihat Jaksa tersebut dapat ditempatkan di bagian mana. Apakah pidana khusus, pidana umum, perdata dan tata usaha negara, intelijen, atau pembinaan.  

Pangkat pertama seorang Jaksa adalah golongan IIIA yang diberi kewenangan untuk menangani perkara sesuai dengan Surat Keputusan dan spesifikasi kemampuan masing-masing.

Dalam menjalanakan pekerjaannya, jaksa mengacu pada KUHAP dan sejumlah Peraturan Jaksa Agung. Selain aturan-aturan tersebut, Jaksa Agung juga telah membuat Surat Edaran mengenai administrasi perkara dan integritas moral bagaimana seorang Jaksa melakukan tindakan sebagai penuntut umum. Namun Babul tak memungkiri masih ada Jaksa yang melakukan penyimpangan.

Makanya, Babul mengingatkan, Kejaksaan saat ini sedang berupaya mereformasi dirinya untuk menjadi pengabdi dan pelayan masyarakat. “Reformasi meminta kita untuk profesional, proporsional, dan memiliki integritas moral yang baik. Sehingga, Jaksa dapat menjadi pengabdi dan pelayan masyarakat,” katanya.

Suka-duka jaksa
Babul menceritakan sejumlah pengalamannya saat menjadi Jaksa. Ketika baru mengawali tugas sebagai Jaksa, ia pernah ditugaskan di beberapa daerah terpencil yang tidak memiliki fasilitas memadai. “Waktu awal-awal menjadi Jaksa, saya pernah jadi Kasubsi Penuntutan di Bengkalis, Riau. Kalau mau menyebrang, itu harus pakai kapal laut sekitar lima sampai enam jam. Kalau kita sakit, susah juga karena pulaunya pulau kecil. Di situ kan nggak ada rumah sakit,” ujarnya.

Babul juga mengaku pernah mengalami kejadian unik ketika ditempatkan di Bangil, Yogyakarta sebagai Kasi Intel. Beberapa kali ia bertemu dengan mantan narapidana yang dulu ia tuntut di pengadilan. ”Ada yang masih ingat kalau dulu itu saya yang menangani perkaranya,” kenangnya.

Babul menambahkan, meski dirinya yang menjebloskan para terdakwa ke penjara, mereka masih bersikap baik padanya. “Kalau kita baik, ya mereka seperti itu. Itu kan berarti kita profesional melaksanakan tugas,” katanya.

Namun, ada pengalaman penanganan perkara yang paling berkesan untuk Babul ketika dirinya ditugaskan sebagai Aspidsus di Kejati Banten. Ketika itu, empat tahun yang lalu, dirinya menangani perkara korupsi anggota dewan. “Sudah lima orang yang kita tahan, kemudian disidangkan. Begitu masuk ke Pengadilan Negeri, Pengadilan Negeri membebaskan mereka semua,” katanya.

Ia lantas mengajukan banding dan dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi. Di sini Babul merasakan ‘seni’ seorang jaksa yang harus menjalankan putusan pengadilan. Ia harus mencari satu per satu anggota dewan yang sudah bebas itu.

Kali lain Babul juga menuturkan bagaimana seorang jaksa harus merogoh koceknya terlebih dulu untuk menangani perkara. Sebab anggaran baru dicairkan jika jaksa sudah memberi pertanggungjawaban keuangan. “Kalau dulu untuk Pidum sih Rp20 juta per perkara. Itu untuk semuanya, termasuk untuk pemanggilan saksi.”

Setelah mengecap manis-pahitnya menjadi jaksa, Babul prihatin karena Jaksa selalu menjadi sasaran tembak jika ada terdakwa yang dibebaskan oleh hakim. “Jaksa dibilang tidak profesional lah atau apa. Padahal kan kita menuntut dia di Pengadilan. Yang memberi putusan bebas itu kan hakimnya,” ujarnya.

Namun, seperti itu lah resiko sebagai seorang Jaksa. Meski tidak mudah dan selalu dihujat, “seorang Jaksa harus legowo, serta tetap enjoy dan melaksanakan tugas dengan baik,” tutur Babul. “Yang penting, jangan kita menyakiti hati rakyat. Kalau tidak bisa membantu umpamanya masyarakat, yang paling penting jangan menyakiti. Kalau semua bertujuan begitu pasti aman Indonesia ini,” imbuhnya.

Reformasi Kejaksaan


Babul mengaku saat ini Kejaksaan sedang mereformasi dirinya. “Reformasi sekarang cukup menggairahkan buat kita bekerja sebagai seorang Jaksa. Pola pikir kita sudah mulai berubah. Jadi berhati-hati kalau bertindak, tidak sembarangan lagi.”

Tentunya kejaksaan berharap ada upaya memperbaiki kelembagaan diiringi dengan peningkatan kesejahteraan. “Tinggal kita menunggu remunerasinya saja. Kita sepakat kalau disamakan gajinya seperti KPK. Kalau sudah seperti itu, mungkin KPK tidak usah ada lagi. Tapi, yang perlu dipikirkan apa sudah siap?” katanya.

Sayang, pernyataan Babul dianggap tak sesuai kenyataan. Setidaknya demikian pandangan Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) Hasril Hertanto yang menganggap tidak ada yang berubah dari pola pikir Jaksa.

“Walaupun ada perubahan, hanya perubahan secara fisik, hanya tertuang dalam aturan-aturan saja,” ujarnya. Ia khawati, para Jaksa tidak memahami pentingnya perubahan itu sendiri. Sehingga, sampai saat ini reformasi Kejaksaan yang dielu-elukan Jaksa Agung dinilai masih jalan di tempat.

Pada praktiknya, lanjut Hasril, masih terjadi penyalahgunaan kewenangan, seperti penyuapan dan pemerasan. Selain itu, Kejaksaan juga masih sering terlihat tidak independen ketika berhadapan dengan kekuasaan.

“Perlu juga ada perubahan pola pikir bahwa menjadi Jaksa itu tidak hanya sekedar mencari jabatan dan lapangan pekerjaan, tetapi pengabdian,” terangnya.

Reformasi kejaksaan, masih menurut Hasril, akan terwujud jika jaksa benar-benar berintegritas dan menjalankan sumpah jabatannya. Di saat bersamaan, institusi kejaksaan juga harus dipimpin oleh pemimpin yang bersih, jujur dan mampu memberikan penghargaan dan sanksi kepada bawahan berdasarkan kinerjanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar