Perjalanan berliku seorang jaksa
Jaksa,
berdasarkan Pasal 1 Undang-undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,
adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang bertindak sebagai
penuntut umum, pelaksana putusan Pengadilan, atau kewenangan lainnya
yang diamanatkan undang-undang. Dan jabatan fungsional Jaksa ini adalah
jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi Kejaksaan.
Sehingga, yang karena fungsinya itu, memungkinkan kelancaran pelaksanaan
tugas Kejaksaan.
Namun, pada kenyataannya, Jaksa Agung Muda Bidang
Pengawasan Kejaksaan Agung (Kejagung) Marwan Effendy beberapa waktu lalu
masih menemui Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dan Kepala Subsie (Kasi)
di sejumlah Kejaksaan Negeri (Kejari) yang tidak memiliki kemampuan
manajerial dan teknis. Sehingga, Marwan merekomendasikan mereka untuk
dicopot dan kembali mendapat pembinaan.
Selain tidak memiliki kemampuan manajerial dan
teknis, ada pula jaksa yang ditemukan melakukan tindak pidana seperti
korupsi, pemerasan, dan penyalahgunaan narkoba. Salah satunya adalah
mantan mantan mantan Kajari Merauke, Papua, Edi Soetiyono.
Bersama Edi, mantan Kasi Tindak Pidana Khusus Kejari
Merauke, Soeparno, juga diduga terlibat dalam perkara korupsi yang
dilakukan Edi.
Edi bukan satu-satunya Kajari yang kasus korupsinya
diusut oleh Kejagung. Karena, Kejagung juga pernah mengusut perkara
korupsi yang dilakukan oleh Kejari Nabire.
Atas penyimpangan-penyimpangan tersebut, hasil
laporan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), sejak Januari 2007 sampai
Juni 2010, telah merekomendasikan sebanyak 869 pegawai dan jaksa yang
telah dijatuhi sanksi. Sanksi yang dijatuhkan bentuknya bermacam-macam,
mulai dari sanksi ringan, sedang, dan berat. Berikut data yang dikutip hukumonline dari Kejaksaan Agung :
Tahun
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
Pegawai
|
38
|
72
|
89
|
62
|
Jaksa
|
89
|
173
|
181
|
165
|
Jumlah (sanksi)
|
127
|
245
|
270
|
227
|
Banyak
dan cenderung meningkatnya jumlah jaksa ‘nakal’ tentunya mengundang
pertanyaan bagaimana proses rekrutmen dan pembinaan seorang jaksa.
Apakah dilakukan secara serampangan atau sebaliknya?
Kepala
Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung Babul Khoir Harahap menegaskan
bahwa proses rekrutmen menjadi seorang jaksa itu tidak mudah dan
panjang. Ia menyatakan syarat-syaratnya telah diatur dalam UU Kejaksaan
dan Peraturan Jaksa Agung (Perja).
“Pertama, yang
jelas adalah Warga Negara Indonesia, IPK-nya 3, kemudian memiliki
kemampuan bahasa Inggris, dan komputer. Selain itu, tidak terlibat
kejahatan, ada surat kelakuan baiknya, dan surat keterangan dokter bahwa
dia sehat dan tidak ada narkoba,” ujarnya.
Kemudian, setelah memenuhi syarat-syarat tersebut,
akan ada tes oleh tim independen. Lalu, ada juga psikotes. “Umurnya juga
tidak boleh lebih dari 32 tahun, dan postur badannya ideal. Tidak boleh
gemuk, kurus, dan tingginya ideal,” kata Babul.
Mereka yang telah lulus seleksi tak bisa langsung
mencicipi seratus persen gaji sebagai calon pegawai negeri sipil
kejaksaan. Mereka harus rela dibayar 80 persen. “Mereka harus melewati
masa prajabatan selama satu tahun. Baru kemudian, setelah satu tahun,
ada pendidikannya selama satu bulan. Prajabatan ini untuk menyesuaikan,
apakah itu di Pidum (Pidana Umum), Pidsus (Pidana Khusus), intel, dan
sebagainya,” katanya. Setelah masa prajabatan satu tahun terlewati,
mereka baru diajukan untuk menjadi pegawai negeri dan menerima gajinya
secara utuh.
Tapi setelah menjadi pegawai negeri, tak otomatis
menyandang profesi Jaksa. Babul menjelaskan, mereka harus menjalani masa
kerja selama dua tahun. Setelah masa kerja itu, mereka baru dapat
mengikuti tes untuk menjadi seorang Jaksa. “Yang mengetes tetap
independen. Mereka di tes tertulis dan wawancara langsung dengan Jaksa
Agung Muda. Nanti, kalau sudah lulus, baru masuk pendidikan Jaksa selama
6 enam bulan.”
Setelah menjalani pendidikan selama 6 bulan, mereka
akan dilantik menjadi Jaksa untuk dikirim ke daerah-daerah. “Itu
tergantung. Ada yang ditugaskan ke daerah selama tiga tahun, empat
tahun, dan sebagainya,” tuturnya.
Penugasan ke daerah-daerah ini, tidak lantas
menyelesaikan proses rekrutmen seorang Jaksa. Babul menyatakan, mereka
akan dipanggil lagi untuk menjalani pendidikan khusus, seperti korupsi,
narkoba, dan lain-lain, untuk menambah ilmunya. Setelah itu baru
terlihat Jaksa tersebut dapat ditempatkan di bagian mana. Apakah pidana
khusus, pidana umum, perdata dan tata usaha negara, intelijen, atau
pembinaan.
Pangkat pertama seorang Jaksa adalah golongan IIIA
yang diberi kewenangan untuk menangani perkara sesuai dengan Surat
Keputusan dan spesifikasi kemampuan masing-masing.
Dalam menjalanakan pekerjaannya, jaksa mengacu pada
KUHAP dan sejumlah Peraturan Jaksa Agung. Selain aturan-aturan tersebut,
Jaksa Agung juga telah membuat Surat Edaran mengenai administrasi
perkara dan integritas moral bagaimana seorang Jaksa melakukan tindakan
sebagai penuntut umum. Namun Babul tak memungkiri masih ada Jaksa yang
melakukan penyimpangan.
Makanya, Babul mengingatkan, Kejaksaan saat ini
sedang berupaya mereformasi dirinya untuk menjadi pengabdi dan pelayan
masyarakat. “Reformasi meminta kita untuk profesional, proporsional, dan
memiliki integritas moral yang baik. Sehingga, Jaksa dapat menjadi
pengabdi dan pelayan masyarakat,” katanya.
Suka-duka jaksa
Babul menceritakan sejumlah pengalamannya saat
menjadi Jaksa. Ketika baru mengawali tugas sebagai Jaksa, ia pernah
ditugaskan di beberapa daerah terpencil yang tidak memiliki fasilitas
memadai. “Waktu awal-awal menjadi Jaksa, saya pernah jadi Kasubsi
Penuntutan di Bengkalis, Riau. Kalau mau menyebrang, itu harus pakai
kapal laut sekitar lima sampai enam jam. Kalau kita sakit, susah juga
karena pulaunya pulau kecil. Di situ kan nggak ada rumah sakit,” ujarnya.
Babul juga mengaku pernah mengalami kejadian unik
ketika ditempatkan di Bangil, Yogyakarta sebagai Kasi Intel. Beberapa
kali ia bertemu dengan mantan narapidana yang dulu ia tuntut di
pengadilan. ”Ada yang masih ingat kalau dulu itu saya yang menangani
perkaranya,” kenangnya.
Babul menambahkan, meski dirinya yang menjebloskan
para terdakwa ke penjara, mereka masih bersikap baik padanya. “Kalau
kita baik, ya mereka seperti itu. Itu kan berarti kita profesional
melaksanakan tugas,” katanya.
Namun, ada pengalaman penanganan perkara yang paling
berkesan untuk Babul ketika dirinya ditugaskan sebagai Aspidsus di
Kejati Banten. Ketika itu, empat tahun yang lalu, dirinya menangani
perkara korupsi anggota dewan. “Sudah lima orang yang kita tahan,
kemudian disidangkan. Begitu masuk ke Pengadilan Negeri, Pengadilan
Negeri membebaskan mereka semua,” katanya.
Ia lantas mengajukan banding dan dikabulkan oleh
Pengadilan Tinggi. Di sini Babul merasakan ‘seni’ seorang jaksa yang
harus menjalankan putusan pengadilan. Ia harus mencari satu per satu
anggota dewan yang sudah bebas itu.
Kali lain Babul juga menuturkan bagaimana seorang
jaksa harus merogoh koceknya terlebih dulu untuk menangani perkara.
Sebab anggaran baru dicairkan jika jaksa sudah memberi
pertanggungjawaban keuangan. “Kalau dulu untuk Pidum sih Rp20 juta per
perkara. Itu untuk semuanya, termasuk untuk pemanggilan saksi.”
Setelah mengecap manis-pahitnya menjadi jaksa, Babul
prihatin karena Jaksa selalu menjadi sasaran tembak jika ada terdakwa
yang dibebaskan oleh hakim. “Jaksa dibilang tidak profesional lah atau
apa. Padahal kan kita menuntut dia di Pengadilan. Yang memberi putusan
bebas itu kan hakimnya,” ujarnya.
Namun, seperti itu lah resiko sebagai seorang Jaksa.
Meski tidak mudah dan selalu dihujat, “seorang Jaksa harus legowo, serta
tetap enjoy dan melaksanakan
tugas dengan baik,” tutur Babul. “Yang penting, jangan kita menyakiti
hati rakyat. Kalau tidak bisa membantu umpamanya masyarakat, yang paling
penting jangan menyakiti. Kalau semua bertujuan begitu pasti aman
Indonesia ini,” imbuhnya.
Reformasi Kejaksaan
Babul mengaku saat ini Kejaksaan sedang mereformasi
dirinya. “Reformasi sekarang cukup menggairahkan buat kita bekerja
sebagai seorang Jaksa. Pola pikir kita sudah mulai berubah. Jadi
berhati-hati kalau bertindak, tidak sembarangan lagi.”
Tentunya kejaksaan berharap ada upaya memperbaiki
kelembagaan diiringi dengan peningkatan kesejahteraan. “Tinggal kita
menunggu remunerasinya saja. Kita sepakat kalau disamakan gajinya
seperti KPK. Kalau sudah seperti itu, mungkin KPK tidak usah ada lagi.
Tapi, yang perlu dipikirkan apa sudah siap?” katanya.
Sayang, pernyataan Babul dianggap tak sesuai
kenyataan. Setidaknya demikian pandangan Ketua Harian Masyarakat
Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) Hasril Hertanto yang menganggap tidak ada yang berubah dari pola pikir Jaksa.
“Walaupun ada perubahan, hanya perubahan secara
fisik, hanya tertuang dalam aturan-aturan saja,” ujarnya. Ia khawati,
para Jaksa tidak memahami pentingnya perubahan itu sendiri. Sehingga,
sampai saat ini reformasi Kejaksaan yang dielu-elukan Jaksa Agung
dinilai masih jalan di tempat.
Pada praktiknya, lanjut Hasril, masih terjadi
penyalahgunaan kewenangan, seperti penyuapan dan pemerasan. Selain itu,
Kejaksaan juga masih sering terlihat tidak independen ketika berhadapan
dengan kekuasaan.
“Perlu juga ada perubahan pola pikir bahwa menjadi
Jaksa itu tidak hanya sekedar mencari jabatan dan lapangan pekerjaan,
tetapi pengabdian,” terangnya.
Reformasi kejaksaan, masih menurut Hasril, akan
terwujud jika jaksa benar-benar berintegritas dan menjalankan sumpah
jabatannya. Di saat bersamaan, institusi kejaksaan juga harus dipimpin
oleh pemimpin yang bersih, jujur dan mampu memberikan penghargaan dan
sanksi kepada bawahan berdasarkan kinerjanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar